BAB 10
AGAMA dan MASYARAKAT
PEMBAHASAN
MENGENAI FUNGSI AGAMA
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama
yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,
argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan
kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai
pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama
merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang
diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya,
dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman
keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat
yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan
agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang
normative atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus
akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi
sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini,
pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana
individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua,
karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan
norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi
kehidupan kelompok.
Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi
agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian.
Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya
dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana
fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap
kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan
keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena
sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan
memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi
yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam
lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta
penolakan penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu
itu sendiri.
Teori
fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan
sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga
sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai
duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi
transdental.
Aksioma teori
di atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan
sendirinya. Teori tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang
mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi
manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian
juga hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan
manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan
mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan
timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh
ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi
yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang
fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri
dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang
sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
1. Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat.
Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber
kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar
manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial
mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya
persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat,
atau mempengaruhi adat-istiadat.
2. Fungsi agama
dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun
dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa
istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan
ukhrowi.
3. Fungsi agama
di sosial adalah fungsi
penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang mempersatukan mereka.
4. Fungsi agama
sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu
sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam
masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan
kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi”
anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk
memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai
tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme
agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson
(1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan
mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut
pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran
tertentu.
b.Praktek agama
mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk
melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan
dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan
mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif
spontan.
c.Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan
suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan
dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan
memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi
dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan
citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling
penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan
metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh
kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan
sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland
Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung
terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek
agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak
kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada
aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan
anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu
mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan
institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
PELEMBAGAAN AGAMA
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga
bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus
diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada,
unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini
mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat
diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi
itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
a.Masyarakat yang
Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut
agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain. Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
- Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang
Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi
arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama,
lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan
sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak
memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya
memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional
terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman
pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang
baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan
bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar
jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat,
dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang
sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu
atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan
mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak
boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa
aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi
sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok
sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi
keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga
memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama
yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan
keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri
atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis
yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab
pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang
mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau
kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari
pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada
puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil
pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan
munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji
dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam
a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram,
Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada
peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam
keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S
al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT
memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya).
Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan
Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada
ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s
selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya
Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s,
Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina.
Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri
dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi
khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa
sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan
kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air
Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh
kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung
jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam
samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi
dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s
yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk
menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan
sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut.
Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal.
Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan
melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan
disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas
(domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi
kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya
Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban
tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama
yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”,
“keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan
yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik
pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah
organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran
telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari
kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi
’anil munkar)
Dari contoh sosial di
atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan
(keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama
puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan
tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi
agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama,
mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas,
produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional.
Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi
keagamaan.
AGAMA KONFLIK dan
MASYARAKAT
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang
ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak
mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska
reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik
kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan
reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah
menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan,
ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari
kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun
menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan
relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama,
jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor
keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan
perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan,
apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin
berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di sejumlah
desa-desa.Misalnya saja, demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi
para pelaku pariwisata, maka upacara-upacara adat yang notabene adalah upacara
agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah.
Upacara-upacara agama suku yang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur. Anehnya sebab bukan hanya orang yang
masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi
ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat
membara. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik
untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada
umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan
pejabat atau pimpinan agama. Jadi pada jaman sekarang pun masih banyak sekali
hal yang menghubungkan agama dengan kepercayaan-kepercayaan seperti itu
sehingga bisa menimbulkan konflik bagi masyarakat itu sendiri.
PENDAPAT
Menurut saya
agama adalah kepercayaan masyarakat untuk mendekatkan diri pada tuahnnya.dan
agama juga berfungsi untuk menjadikan seseorang bertutur kata baik,menjadi
seseorang yang religious dan menjadikan seeorang mudah berteman dengan sesame
anggota. Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut
dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang
terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam
kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan
kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama
diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga
agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi
nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku
sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada
agamanya. Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti
adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta
umat atau kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat
dapat pula diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi
manusianya, kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku
umum, seperti banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah
keluarga, bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan
sebagainya.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup,
menekankan pada hal-hal yangnormatif atau menunjuk kepada hal-hal yang
sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Karena latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang kala kepentingannya dapat tercermin atau tidak sama sekali. Karena itu kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Timbul hubungan dua arah, tidak hanya kondisi sosial solo yang menyebabkan lahir dan menyebarnya ide serta nilai-nilai, tetapi bila ide dan nilai itu telah terlembaga, maka akan mempengaruhi tindakan manusia. Karena itu perlu mempelajari pengaruh struktur sosial terhadap agama, dan juga perlu mempelajari pengaruh agama terhadap struktur sosial.
Karena latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang kala kepentingannya dapat tercermin atau tidak sama sekali. Karena itu kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Timbul hubungan dua arah, tidak hanya kondisi sosial solo yang menyebabkan lahir dan menyebarnya ide serta nilai-nilai, tetapi bila ide dan nilai itu telah terlembaga, maka akan mempengaruhi tindakan manusia. Karena itu perlu mempelajari pengaruh struktur sosial terhadap agama, dan juga perlu mempelajari pengaruh agama terhadap struktur sosial.
REFERENSI
NAMA : RAFIATUL ISMI
KELAS : 1 KA 07
NPM : 17113127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar